Jumat, 12 Oktober 2012

Pejabat = predator?



Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik. Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi (investment grade) dari Fitch’s Rating Ltd. dan Moody’s Investor Service. Akan tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menggantung asa dan karenanya, bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) “jembatan pendidikan” yang oleh media ternama

Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.

Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.

Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.

Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.

Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan  80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.

Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.

Pejabat Predator

Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.

Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.

Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.

Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.

Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan  tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?

Jusman Dalle
• Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Opini, Okezone, 1 Februari 2012, 

Impian Cinta



dia adalah jiwa yang rapuh
hidup pada hati yang tak pernah tersentuh
pada raga yang juga tak pernah berdiri
pada bibir yang tak pernah bersuara
nafasnya berhembus satu persatu

ia lahir kedunia tanpa sesiapa
berharap kasih untuk rajut usia
mengiba peluk untuk mampu berikan cinta
meronta memimpikan bahagia
biar saja sepi rasuki hatinya
biar saja luka menghancurkan hatinya
kini, didunia ini saja,

karena nanti dunia penuh cinta sudah menanti
dunia dengan jutaan bahagia
dunia lengkap akan cinta
satu cinta utuh.... dariNya,

Buruknya nasib buruh indonesia



Apa yang ditulis Kompas (23/4/10) dalam ”Semut-semut” di Galangan Kapal tentang akar kerusuhan buruh galangan kapal, di mana buruh bukan hanya ditindas secara material, tetapi juga dihina secara spiritual (diskriminasi), merupakan fenomena ”gunung es” marginalisasi buruh di Indonesia.
Marginalisasi buruh dapat dilihat dari hubungan dan dinamika relasi buruh, negara, dan pasar. Sebagian ahli hanya melihat dari sisi ekonomi dengan dominasi kepentingan modal dalam relasi ketiganya. Padahal, dalam pemahaman holistik perlu tambahan
aspek globalisasi dan perdagangan bebas, sistem demokrasi dan desentralisasi, kemiskinan dan pengangguran, serta sistem hubungan industrial.
Para kapitalis butuh situasi yang ramah terhadap pasar yang memungkinkan mereka berinvestasi. Mereka butuh fleksibilitas pasar kerja, yang berpihak kepada pemilik modal agar mudah mendapatkan dan memberhentikan pekerja dengan harga pasar. Ketidakfleksibelan pasar juga bersumber pada tingginya level manfaat asuransi pekerja, waktunya berlangsung lama, ketatnya aturan jam kerja, besarnya kewajiban upah lembur, besarnya kekuasaan serikat buruh, atau aturan keselamatan kerja yang terlalu bagus (Solow, 1998).
Pemerintah meyakini fleksibilitas adalah jawaban untuk menarik investor sekaligus meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Maka, kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja pun diadopsi Bappenas (Tjandraningsih dan Puspitaningrum, 2005). Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, masing-masing 14,15 persen dan 7,87 persen (Agustus 2009, BPS), mendorong pemerintah mengutamakan penciptaan lapangan kerja.

 

Fleksibilitas pasar
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi peluang fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan menciptakan sistem baru ketenagakerjaan, seperti kontrak (Pasal 59) dan outsourcing (Pasal 65-66). Dengan sistem ini, perusahaan di Indonesia bisa memperoleh harga buruh termurah dan terhindar dari tuntutan pesangon karena tak mempekerjakan buruh tetap.
Meskipun sebenarnya ada batasan dalam sistem kerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), yaitu hanya untuk pekerjaan tidak inti, pengawasan pemerintah masih sangat kurang.
Konsekuensinya, nasib buruh semakin buruk. Pertama, buruh harus bertahan dengan sistem kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian karier dan kenaikan pendapatan yang sesuai masa kerja. Kedua, buruh kontrak tidak berkesempatan masuk serikat buruh sehingga tidak mendapat perlindungan kolektif dari serikat buruh, seperti perjanjian kerja bersama (PKB).
Secara umum, penghasilan buruh masuk ketentuan upah minimum. Namun, tanpa daya tawar kolektif, buruh kontrak kehilangan kesempatan mendapat gaji cukup pada masa berikutnya. Mereka harus puas dengan upah minimum yang naik hanya berdasarkan inflasi.
Era perdagangan bebas membuat pemilik modal berinvestasi di negara yang memberikan kemudahan dan keuntungan. Hal ini menekan pemerintah yang di satu sisi sangat butuh kehadiran modal asing, di sisi lain membiarkan upah buruh rendah.
Menurut Cosmas Batubara (2008), upaya penghimpunan modal dan penciptaan keunggulan komparatif di negara-negara yang terlambat ikut industrialisasi tergantung, antara lain, pada upah buruh rendah serta terjaminnya tertib politik dan sosial di sektor perburuhan. Sementara Hadiz (2001) melihat bahwa mobilitas modal yang makin tinggi menurunkan kekuatan buruh.
Demokrasi dan desentralisasi di Indonesia memperburuk situasi. Kesadaran eksistensial buruh dalam serikat buruh menghadapi saingan dari organisasi politik yang tumbuh pasca-Reformasi. Banyak tokoh buruh meninggalkan serikat buruh demi mengejar karier politik di partai.
Desentralisasi menambah masalah bagi buruh karena terdesentralisasi pula kekuasaan pemerintah dalam ketenagakerjaan. Padahal, berbagai persoalan perburuhan, apalagi menyangkut perusahaan besar, jarang bisa diatasi pemerintahan lokal.
Dalam demokrasi, muncul pula politik uang. Kebutuhan biaya kampanye yang begitu besar memaksa adanya kesepakatan-kesepakatan antara pemilik modal dan calon penguasa sehingga penguasa lebih dekat dengan pemilik modal daripada buruh.
Isu lain adalah ketika pemerintahan Habibie meratifikasi tujuh konvensi ILO, khususnya konvensi 87 tentang kebebasan berkumpul dan perlindungan hak untuk berorganisasi, diikuti UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
Undang-undang ini memberikan keleluasaan bagi buruh untuk berorganisasi. Syarat pendirian organisasi yang hanya 10 orang buruh di tempat kerja yang sama membuat berbagai serikat buruh menjamur.
Menguatnya serikat buruh mencemaskan pengusaha. Pemilik modal kemudian mendapat tempat dengan munculnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan ruang bagi sistem kerja kontrak dan outsourcing. Juga UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang menyerahkan sengketa perburuhan pada lembaga peradilan, semua akhirnya mereduksi representasi serikat buruh.
Setelah UU PPHI, perkara perselisihan perburuhan menumpuk. Tahun 2005 tercatat 246.422 kasus yang belum selesai. Hal ini memberi rasa ketidakpastian bagi buruh dalam menunggu hasil.
Perlawanan buruh
Joseph Stiglitz di pertemuan Industrial Relation Researchs Association di Boston, Amerika Serikat (2000), menyampaikan kritik atas cara pandang para ekonom liberal yang melihat buruh sebagai alat produksi semata.
Stiglitz menyarankan cara pandang baru yang lebih memuliakan buruh, baik karena adanya pemahaman baru yang melihat buruh sebagai pemangku kepentingan maupun jasa buruh menciptakan masyarakat madani dan standardisasi pekerja.
Besarnya tekanan terhadap buruh dalam relasi dengan negara dan pasar juga membuat buruh harus punya kesadaran baru: bahwa dia tidak menjual tenaganya sebagai faktor produksi, melainkan sebagai manusia pemangku kepentingan yang menjadi subjek pembangunan.
Kesadaran lain adalah menuntut peran negara melindungi buruh. Hal ini terkait dengan UUD 1945 yang memerintahkan negara menjamin hak-hak untuk mendapat pekerjaan yang layak bagi warga negaranya.
Untuk itu buruh perlu membangkitkan rasa solidaritas dan persatuan, memperbaiki organisasi serikat pekerja sebagai alat tawar kolektif dan menempatkan diri sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).
Buruh juga harus terlibat dalam hal-hal strategis yang menyangkut nasibnya. Misalnya, dalam perundingan-perundingan perdagangan bebas. Buruh harus juga punya wakil-wakilnya di DPR. Akhirnya, buruh perlu mendesak pengusaha dan pemerintah agar punya rasa keadilan atas hak mendapat keuntungan (redistribusi) dari nilai tambah usaha, baik dalam skala perusahaan maupun nasional.
Syahganda nainggolan  Kandidat Doktor Kesejahteraan Sosial, FISIP UI