Senin, 17 Desember 2012

Arti Hidup


Permulaan Sebuah Kehidupan

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai.
Bukan tentang berapa banyak orang yang menelponmu
dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu atau orang yang belum kamu pacari.
Bukan tentang siapa yang telah kau cium, olahraga apa yang kau mainkan, atau pemuda atau gadis
mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu atau rambutmu atau warna kulitmu atau tempat
tinggalmu atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nilai- nilai ujianmu, uang, baju,
atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri,
dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup bukanlah
tentang itu. Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kau cintai dan kau sakiti.
Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan,
dan kasih sayang.

Hidup adalah tentang menghindari rasa dendam, iri hati, kesombongan, mengatasi rasa tak peduli,
dan membina kepercayaan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang
dimilikinya.

Dan yang terpenting, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh
hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah tentang
menentukan pilihan-pilihan sesuai dengan kata.
 

Jumat, 12 Oktober 2012

Pejabat = predator?



Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik. Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi (investment grade) dari Fitch’s Rating Ltd. dan Moody’s Investor Service. Akan tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menggantung asa dan karenanya, bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) “jembatan pendidikan” yang oleh media ternama

Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.

Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.

Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.

Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.

Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan  80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.

Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.

Pejabat Predator

Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.

Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.

Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.

Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.

Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan  tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?

Jusman Dalle
• Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Opini, Okezone, 1 Februari 2012, 

Impian Cinta



dia adalah jiwa yang rapuh
hidup pada hati yang tak pernah tersentuh
pada raga yang juga tak pernah berdiri
pada bibir yang tak pernah bersuara
nafasnya berhembus satu persatu

ia lahir kedunia tanpa sesiapa
berharap kasih untuk rajut usia
mengiba peluk untuk mampu berikan cinta
meronta memimpikan bahagia
biar saja sepi rasuki hatinya
biar saja luka menghancurkan hatinya
kini, didunia ini saja,

karena nanti dunia penuh cinta sudah menanti
dunia dengan jutaan bahagia
dunia lengkap akan cinta
satu cinta utuh.... dariNya,

Buruknya nasib buruh indonesia



Apa yang ditulis Kompas (23/4/10) dalam ”Semut-semut” di Galangan Kapal tentang akar kerusuhan buruh galangan kapal, di mana buruh bukan hanya ditindas secara material, tetapi juga dihina secara spiritual (diskriminasi), merupakan fenomena ”gunung es” marginalisasi buruh di Indonesia.
Marginalisasi buruh dapat dilihat dari hubungan dan dinamika relasi buruh, negara, dan pasar. Sebagian ahli hanya melihat dari sisi ekonomi dengan dominasi kepentingan modal dalam relasi ketiganya. Padahal, dalam pemahaman holistik perlu tambahan
aspek globalisasi dan perdagangan bebas, sistem demokrasi dan desentralisasi, kemiskinan dan pengangguran, serta sistem hubungan industrial.
Para kapitalis butuh situasi yang ramah terhadap pasar yang memungkinkan mereka berinvestasi. Mereka butuh fleksibilitas pasar kerja, yang berpihak kepada pemilik modal agar mudah mendapatkan dan memberhentikan pekerja dengan harga pasar. Ketidakfleksibelan pasar juga bersumber pada tingginya level manfaat asuransi pekerja, waktunya berlangsung lama, ketatnya aturan jam kerja, besarnya kewajiban upah lembur, besarnya kekuasaan serikat buruh, atau aturan keselamatan kerja yang terlalu bagus (Solow, 1998).
Pemerintah meyakini fleksibilitas adalah jawaban untuk menarik investor sekaligus meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Maka, kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja pun diadopsi Bappenas (Tjandraningsih dan Puspitaningrum, 2005). Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, masing-masing 14,15 persen dan 7,87 persen (Agustus 2009, BPS), mendorong pemerintah mengutamakan penciptaan lapangan kerja.

 

Fleksibilitas pasar
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi peluang fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan menciptakan sistem baru ketenagakerjaan, seperti kontrak (Pasal 59) dan outsourcing (Pasal 65-66). Dengan sistem ini, perusahaan di Indonesia bisa memperoleh harga buruh termurah dan terhindar dari tuntutan pesangon karena tak mempekerjakan buruh tetap.
Meskipun sebenarnya ada batasan dalam sistem kerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), yaitu hanya untuk pekerjaan tidak inti, pengawasan pemerintah masih sangat kurang.
Konsekuensinya, nasib buruh semakin buruk. Pertama, buruh harus bertahan dengan sistem kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian karier dan kenaikan pendapatan yang sesuai masa kerja. Kedua, buruh kontrak tidak berkesempatan masuk serikat buruh sehingga tidak mendapat perlindungan kolektif dari serikat buruh, seperti perjanjian kerja bersama (PKB).
Secara umum, penghasilan buruh masuk ketentuan upah minimum. Namun, tanpa daya tawar kolektif, buruh kontrak kehilangan kesempatan mendapat gaji cukup pada masa berikutnya. Mereka harus puas dengan upah minimum yang naik hanya berdasarkan inflasi.
Era perdagangan bebas membuat pemilik modal berinvestasi di negara yang memberikan kemudahan dan keuntungan. Hal ini menekan pemerintah yang di satu sisi sangat butuh kehadiran modal asing, di sisi lain membiarkan upah buruh rendah.
Menurut Cosmas Batubara (2008), upaya penghimpunan modal dan penciptaan keunggulan komparatif di negara-negara yang terlambat ikut industrialisasi tergantung, antara lain, pada upah buruh rendah serta terjaminnya tertib politik dan sosial di sektor perburuhan. Sementara Hadiz (2001) melihat bahwa mobilitas modal yang makin tinggi menurunkan kekuatan buruh.
Demokrasi dan desentralisasi di Indonesia memperburuk situasi. Kesadaran eksistensial buruh dalam serikat buruh menghadapi saingan dari organisasi politik yang tumbuh pasca-Reformasi. Banyak tokoh buruh meninggalkan serikat buruh demi mengejar karier politik di partai.
Desentralisasi menambah masalah bagi buruh karena terdesentralisasi pula kekuasaan pemerintah dalam ketenagakerjaan. Padahal, berbagai persoalan perburuhan, apalagi menyangkut perusahaan besar, jarang bisa diatasi pemerintahan lokal.
Dalam demokrasi, muncul pula politik uang. Kebutuhan biaya kampanye yang begitu besar memaksa adanya kesepakatan-kesepakatan antara pemilik modal dan calon penguasa sehingga penguasa lebih dekat dengan pemilik modal daripada buruh.
Isu lain adalah ketika pemerintahan Habibie meratifikasi tujuh konvensi ILO, khususnya konvensi 87 tentang kebebasan berkumpul dan perlindungan hak untuk berorganisasi, diikuti UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
Undang-undang ini memberikan keleluasaan bagi buruh untuk berorganisasi. Syarat pendirian organisasi yang hanya 10 orang buruh di tempat kerja yang sama membuat berbagai serikat buruh menjamur.
Menguatnya serikat buruh mencemaskan pengusaha. Pemilik modal kemudian mendapat tempat dengan munculnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan ruang bagi sistem kerja kontrak dan outsourcing. Juga UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang menyerahkan sengketa perburuhan pada lembaga peradilan, semua akhirnya mereduksi representasi serikat buruh.
Setelah UU PPHI, perkara perselisihan perburuhan menumpuk. Tahun 2005 tercatat 246.422 kasus yang belum selesai. Hal ini memberi rasa ketidakpastian bagi buruh dalam menunggu hasil.
Perlawanan buruh
Joseph Stiglitz di pertemuan Industrial Relation Researchs Association di Boston, Amerika Serikat (2000), menyampaikan kritik atas cara pandang para ekonom liberal yang melihat buruh sebagai alat produksi semata.
Stiglitz menyarankan cara pandang baru yang lebih memuliakan buruh, baik karena adanya pemahaman baru yang melihat buruh sebagai pemangku kepentingan maupun jasa buruh menciptakan masyarakat madani dan standardisasi pekerja.
Besarnya tekanan terhadap buruh dalam relasi dengan negara dan pasar juga membuat buruh harus punya kesadaran baru: bahwa dia tidak menjual tenaganya sebagai faktor produksi, melainkan sebagai manusia pemangku kepentingan yang menjadi subjek pembangunan.
Kesadaran lain adalah menuntut peran negara melindungi buruh. Hal ini terkait dengan UUD 1945 yang memerintahkan negara menjamin hak-hak untuk mendapat pekerjaan yang layak bagi warga negaranya.
Untuk itu buruh perlu membangkitkan rasa solidaritas dan persatuan, memperbaiki organisasi serikat pekerja sebagai alat tawar kolektif dan menempatkan diri sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).
Buruh juga harus terlibat dalam hal-hal strategis yang menyangkut nasibnya. Misalnya, dalam perundingan-perundingan perdagangan bebas. Buruh harus juga punya wakil-wakilnya di DPR. Akhirnya, buruh perlu mendesak pengusaha dan pemerintah agar punya rasa keadilan atas hak mendapat keuntungan (redistribusi) dari nilai tambah usaha, baik dalam skala perusahaan maupun nasional.
Syahganda nainggolan  Kandidat Doktor Kesejahteraan Sosial, FISIP UI

Senin, 11 Juni 2012

Menjadilah Dirimu

(Menjadi diri sendiri itu tidak mudah, karena hanya kita yang bisa menjadi diri kita, bukan orang lain)


Menjadi karang-lah, meski tidak mudah. 
Sebab ia 'kan menahan sengat binar mentari yang garang. Sebab ia 'kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah. Sebab ia 'kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan. Sebab ia 'kan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia 'kan kokohkan diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus.Sebab ia 'kan berdiri 
tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu dan bosan. 


Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah. Sebab ia 'kan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap siangnya. Sebab ia 'kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar. Sebab ia 'kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab ia 'kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia 'kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia 'kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia 'kan berikan tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya. Sebab ia 'kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya. 
Menjadi paus-lah, meski itu tak mudah. Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar tubuhnya 'kan menakutkan musuh yang coba mengganggu. Sebab sikap diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya. 
Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus mengangkasa jauh tanpa takut jatuh. Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayap yang membentang gagah. 
Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia 'kan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya. 
Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah dipandang mata.Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam. 
Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar. 

Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga gelombang. Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya. Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan. Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau matahari, namun selalu berusaha menaungi. Melati ikhlas 'tuk selalu menerima keadaannya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya. Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-saat diam adalah kejenuhan. Mutiara tak memudar kelam, meski pekat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang. 
Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian. Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo bentang cakrawala. Pausmenjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam luas samudera. Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan. Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan. Mutiara tetap bersinar dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada. Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian. 
Menjadi apapun dirimu..., bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kau sadari kelemahanmu. Jadilah karang yang kokoh, elang yang perkasa, paus yang besar, pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu, atau apapun yang kau mau. Tapi, tetaplah sadari bahwa kita adalah hambaNya. .....


Have A Nice Day's http://www.gsn-soeki.com/wouw/


Minggu, 10 Juni 2012

Petuah Ayah

Petuah Sang Ayah


Minggu pagi, seorang ayah mengajak anak lelaki sulungnya yang beranjak remaja kekebun. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Beberapa tanaman harian seperti sayur kacang panjang, terong telah tumbuh setelah ditanam 1 minggu yang lalu.Tak lupa ia memesankan agar anaknya membawa cangkul karena ia sudah mempersiapkan beberapa stek ubi kayu sebagai bibit yang akan ditanam dilahan kebun yang ukurannya tidak seberapa besar. Tapi cukup untuk menanam beberapa sayur mayur mencukupi pangan keluarga. Mereka pamit dengan sang bunda kemudian berjalan menuju kebun. Sebuah parang terselip dipinggang.Hari pun beranjak siang.

Setelah menyingsingkan lengan baju, sang ayah pun mulai membersihkan beberapa meter persegi lahan kebun. Ia menyiangi dan menebas beberapa bagian yang masih tertutupi semak belukar untuk kemudian dengan menggunakan cangkul yang tadi dipanggul sisulung ia pun mulai mengayunkannya untuk menggemburkan tanah tempat ia akan menancapkan beberapa stek ubi kayu yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Peluh pun mengucur membasahi tubuhnya yang mulai ringkih. Menetes diujung dagu sambil sesekali ia seka menggunakan handuk putih yang diselipkan istrinya kekantong celana panjangnya. Seperti lagu yang populer zaman anak-anak dahulu cangkul cangkul cangkul yang dalam, menanam ubi dikebun kita.
"Af, coba dikau bersihkan semak diujung kebun, sebentar nanti ayah menyusul, ayah selesaikan dahulu beberapa stek yang tersisa ini ya", demikian sang ayah meminta anaknya untuk mulai membersihkan sisi ujung kebun yang masih tertutup semak. Ternyata sisulung bernama afrizal. Dengan sigap sebagai anak yang berbakti afrizal pun berdiri setelah beberapa lama ia hanya memperhatikan sang ayah menebas dan mencangkul kebun mereka. Ia bergerak kebagian k ebun yang ditunjuk sang ayah dan mulai mengayunkan parang yang sebelumnya mereka bawa. Satu dua tebasan, parang terayun, semak belukar pun mulai terang. Tak berapa tebasan ia pun berhenti, berusaha menarik nafas mengendalikan dadanya yang sesak, Nafasnya tersengal-sengal. "Ha, napo af, sesak nafas dikau. Bawa dudok sekejap", tersenyum sang ayah melihat anak sulungnya tersengal-sengal nafasnya setelah menebas semak belukar. Ia pun melanjutkan mencangkul. Afrizal duduk sejenak seraya berkata "Yolah ayah". Setelah beristirahat beberapa saat, ia pun bangkit mulai menebas kembali semak yang belum seberapa terang. Namun baru beberapa tebasan, nafasnya kembali sesak dan ia pun kembali terduduk. Sang ayah dengan wajah bijak datang menghampiri anaknya. Ia pun memegang pundak sang anak dan duduk tepat disebelah kirinya. "Payah dikau bekerja macam ni ? Tulah, kalau dikau tak kuat ini (sang ayah sambil menunjuk lengan nya), dikau mesti kuat ini (sang ayah menunjuk kepalanya). Hidup ni tak semudah yang dikau bayangkan. Mulai sekarang, dikau sudah mesti mengambil sikap apakah dikau akan menggunakan otak atau otot untuk menjadi seorang lelaki". Sambil menepuk-nepuk pundak sang anak ia pun berdiri kembali meneruskan pekerjaanya yang tertunda. Afrizal termenung, singkat namun petuah sang ayah membekas betapa akhir dari sebuah perjalanan justru diawali dengan sikap untuk memutuskan satu diantara dua perkara diawalnya. Ya, saya harus memilih otak atau otot.~Semilir hati resource

Selasa, 05 Juni 2012

Pangeran Nafsu




Telah mekar mahkota bunga,
Seorang putri yang minim akan kasih,
Telah datang kepadanya pangeran tampan,
Dengan nafsu yang dibungkus cinta..

Telah hilang logika pada putri,
Putripun tunduk dimabuk cinta,
Telah girang tertawa keras sang pangeran,
Karena syetan dihati telah menaklukan putri,

Telah hilang mahkota suci putri,
Di curi oleh pangeran nafsu,
Tapi ada apa dengan putri,
Dia tidak kurang ataupun kehilangan,

Telah datang kepadanya,,
Dimana waktu membuka realita,,
Telah datang kesedihan dihati putri
Yang mengiris tipis hari hari yang dilalui

Bungapun layu hilang sari suci,
Pedih bukan hanya pangeran telah pergi..
Tapi juga perih..
Karena akan mengeluarkan bayi esok pagi

by : Krisdigiyono

Love




deskripsi ku tentang cinta
aku enggak ambil pusing tentang cinta, tapi aku akan gambarkan cara pandang aku tentang cinta

cinta itu hanya perasaan tidak kurang tidak lebih...
cinta bisa datang dan pergi, kapan, dimana, dan pada siapapun..
tapi yang pasti, cinta akan hilang seiring waktu, menua dan hancur...
cinta itu hanyalah sebuah topeng dari nafsu......

Senin, 04 Juni 2012

Harta Yang Tak Ternilai

harta yang paling berharga adalah keluarga, disaat kita terluka dan dunia membuang kita maka keluargalah yang mau menerima kita, membantu mencuci dosa dosa kita..
mungkin kalau dijabarkan tak cukup  satu buku untuk membahas keluaga..
orang yang sangat kami sayangi tak lain adaah keluarga....