Minggu, 10 Juni 2012

Petuah Ayah

Petuah Sang Ayah


Minggu pagi, seorang ayah mengajak anak lelaki sulungnya yang beranjak remaja kekebun. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Beberapa tanaman harian seperti sayur kacang panjang, terong telah tumbuh setelah ditanam 1 minggu yang lalu.Tak lupa ia memesankan agar anaknya membawa cangkul karena ia sudah mempersiapkan beberapa stek ubi kayu sebagai bibit yang akan ditanam dilahan kebun yang ukurannya tidak seberapa besar. Tapi cukup untuk menanam beberapa sayur mayur mencukupi pangan keluarga. Mereka pamit dengan sang bunda kemudian berjalan menuju kebun. Sebuah parang terselip dipinggang.Hari pun beranjak siang.

Setelah menyingsingkan lengan baju, sang ayah pun mulai membersihkan beberapa meter persegi lahan kebun. Ia menyiangi dan menebas beberapa bagian yang masih tertutupi semak belukar untuk kemudian dengan menggunakan cangkul yang tadi dipanggul sisulung ia pun mulai mengayunkannya untuk menggemburkan tanah tempat ia akan menancapkan beberapa stek ubi kayu yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Peluh pun mengucur membasahi tubuhnya yang mulai ringkih. Menetes diujung dagu sambil sesekali ia seka menggunakan handuk putih yang diselipkan istrinya kekantong celana panjangnya. Seperti lagu yang populer zaman anak-anak dahulu cangkul cangkul cangkul yang dalam, menanam ubi dikebun kita.
"Af, coba dikau bersihkan semak diujung kebun, sebentar nanti ayah menyusul, ayah selesaikan dahulu beberapa stek yang tersisa ini ya", demikian sang ayah meminta anaknya untuk mulai membersihkan sisi ujung kebun yang masih tertutup semak. Ternyata sisulung bernama afrizal. Dengan sigap sebagai anak yang berbakti afrizal pun berdiri setelah beberapa lama ia hanya memperhatikan sang ayah menebas dan mencangkul kebun mereka. Ia bergerak kebagian k ebun yang ditunjuk sang ayah dan mulai mengayunkan parang yang sebelumnya mereka bawa. Satu dua tebasan, parang terayun, semak belukar pun mulai terang. Tak berapa tebasan ia pun berhenti, berusaha menarik nafas mengendalikan dadanya yang sesak, Nafasnya tersengal-sengal. "Ha, napo af, sesak nafas dikau. Bawa dudok sekejap", tersenyum sang ayah melihat anak sulungnya tersengal-sengal nafasnya setelah menebas semak belukar. Ia pun melanjutkan mencangkul. Afrizal duduk sejenak seraya berkata "Yolah ayah". Setelah beristirahat beberapa saat, ia pun bangkit mulai menebas kembali semak yang belum seberapa terang. Namun baru beberapa tebasan, nafasnya kembali sesak dan ia pun kembali terduduk. Sang ayah dengan wajah bijak datang menghampiri anaknya. Ia pun memegang pundak sang anak dan duduk tepat disebelah kirinya. "Payah dikau bekerja macam ni ? Tulah, kalau dikau tak kuat ini (sang ayah sambil menunjuk lengan nya), dikau mesti kuat ini (sang ayah menunjuk kepalanya). Hidup ni tak semudah yang dikau bayangkan. Mulai sekarang, dikau sudah mesti mengambil sikap apakah dikau akan menggunakan otak atau otot untuk menjadi seorang lelaki". Sambil menepuk-nepuk pundak sang anak ia pun berdiri kembali meneruskan pekerjaanya yang tertunda. Afrizal termenung, singkat namun petuah sang ayah membekas betapa akhir dari sebuah perjalanan justru diawali dengan sikap untuk memutuskan satu diantara dua perkara diawalnya. Ya, saya harus memilih otak atau otot.~Semilir hati resource

Tidak ada komentar: